Open-Minded Tapi Gampang Tersinggung: Sebuah Kontradiksi Sosial

Ilustrasi
    Di media sosial maupun dalam obrolan sehari-hari, kita sering menemui satu kalimat klise: “Kita harus open minded dong!” Kalimat ini seolah menjadi mantra suci dalam diskusi publik. Namun, ironi mulai muncul ketika seseorang benar-benar mengutarakan pendapat yang berbeda, terutama yang berlawanan atau tidak populer. Alih-alih disambut dengan pikiran terbuka, yang muncul justru amarah, serangan personal, bahkan pembatalan massal alias cancel culture. Lalu, di mana letak “open minded”-nya?

    Konsep open minded secara psikologis berarti kesediaan untuk mempertimbangkan ide, argumen, dan informasi baru tanpa langsung menolaknya. Jonathan Haidt, seorang psikolog sosial, dalam bukunya The Righteous Mind: Mengapa Orang-Orang Baik Terbelah Karena Politik dan Agama, menyebutkan bahwa manusia sebenarnya lebih sering menggunakan nalar untuk membela pendapatnya, bukan untuk mencari kebenaran. Maka, ketika kita merasa "terancam" oleh opini yang berbeda, respon pertama kita biasanya adalah defensif, bukan eksploratif.

    Fenomena ini memperlihatkan bahwa banyak orang sebenarnya tidak benar-benar open minded, tapi hanya nyaman dengan gagasan-gagasan yang mendukung pandangannya sendiri. Ketika perbedaan muncul, mereka buru-buru menyematkan label: “intoleran,” “bodoh, goblok” atau bahkan “berbahaya.” Padahal, seperti kata filsuf Voltaire: "I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it." dalam biografinya yang ditulis oleh Evelyn Beatrice. Pernyataan ini menekankan bahwa perbedaan pendapat bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang harus dilindungi.

    Masalahnya, kita hidup di era di mana identitas melekat kuat pada opini. Ketika sebuah argumen dikritik, kita merasa pribadi kita yang diserang. Maka tak heran, diskusi sering berubah menjadi debat kusir penuh emosi. Orang tidak lagi berbicara untuk memahami, tetapi untuk menang.

    Jika kita benar-benar ingin membangun diri kita dan orang lain yang inklusif dan cerdas, maka sikap open minded harus diwujudkan bukan hanya ketika setuju, tetapi terutama ketika tidak setuju. Menerima bahwa orang lain bisa memiliki sudut pandang yang berbeda dan itu sah merupakan langkah awal menuju dialog yang sehat.

    Akhir kata, mari kita refleksikan: apakah kita benar-benar open minded, atau hanya sedang menikmati gema dari pendapat kita sendiri?

Posting Komentar

0 Komentar