Budaya Produktif Visual: Saat Disiplin Tidak Lagi Jadi Nilai

   

Ilustrasi
    Hari ini, kita hidup di era di mana sibuk bukan lagi keadaan, tapi identitas. Kalender penuh warna, unggahan story penuh to-do list, bahkan meja kerja berantakan kini bisa jadi estetika produktivitas. Ironisnya, di balik semua itu, banyak dari kita justru tidak bisa datang tepat waktu, tidak bisa patuh pada jadwal, bahkan sering kali menjadi pengganggu ritme orang lain. Ngaret menjadi budaya, tapi produktif harus terlihat.

    Ini bukan soal satu-dua orang. Ini fenomena massal. Kita terjebak dalam illusion of productivity, merasa dan terlihat sibuk, tapi tidak selalu menyelesaikan hal secara tuntas dan tertib. Dan ironisnya lagi, keterlambatan dianggap wajar, bahkan seolah-olah menjadi bagian dari gaya kerja santai tapi tetap berprestasi. Sosiolog Jerman Max Weber dalam teorinya tentang etika protestan dan semangat kapitalisme, menekankan bahwa disiplin waktu adalah bagian dari moral kerja yang tinggi, sesuatu yang membentuk masyarakat maju. Tapi hari ini, nilai tersebut seolah tertukar. Disiplin tak lagi penting, asal terlihat sibuk. Kita lebih takut dicap "mahasiswa mager" di media sosial atau di tongkrongan  daripada benar-benar datang tepat waktu ke kelas, diskusi atau rapat organisasi. Banyak yang rela membuat konten sok sibuk kerja proker laptop dibuka, sticky notes dipajang, caption-nya penuh semangat kolaborasi tapi ketika kegiatan dimulai, malah datang telat atau belum siap bahan. Seolah-olah produktivitas sudah cukup dibuktikan lewat unggahan, bukan dari bagaimana kita menepati waktu dan tanggung jawab di dunia nyata.

    Banyak yang menganggap keterlambatan adalah hal kecil, tapi sebenarnya ia menyimpan makna yang lebih dalam. Ngaret adalah bentuk ketidakhadiran pada tanggung jawab waktu. Ngaret adalah bentuk ketidakjujuran terhadap komitmen, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Ketika kita tidak disiplin waktu, sebenarnya kita sedang mengatakan: “waktuku lebih penting dari waktu orang lain.” Ini bukan lagi soal keterlambatan teknis, tapi etika dalam berelasi, sosialisasi dan bekerja. Produktivitas sejati bukan diukur dari seberapa padat agenda kita, tapi dari seberapa konsisten kita menjalankannya. Disiplin waktu bukan hanya soal ketepatan, tapi juga bentuk penghargaan pada proses dan orang lain. Daripada mengejar estetika sibuk yang hanya mempercantik feed, bukankah lebih baik membangun ritme hidup yang jujur dan tertib?

    Produktivitas yang tidak disertai kedisiplinan waktu hanyalah omong kosong. Kita bisa menipu kamera, tapi tidak bisa menipu hasil. Maka jika memang ingin produktif, mulailah dengan hal paling sederhana namun mendasar: datang tepat waktu.

Punctuality is not about being on time, it is about respecting your own commitments.” — Bukan Admin.

Posting Komentar

0 Komentar