Di Bawah Lengkara Rencong
Kita bertemu di
Pasar Aceh dekat Krueng Raba,
kau suguhkan sikaru dengan pantun Melayu di bibir
"Bulan patah di gigi rindu,
sireh di hujung lidah jadi kapal ke Malaka."
Sementara jari-jariku mengukir kaligrafi Jawoe
di kulit pinang sisa ranup Cut Nyak.
Kau ikat rencong dengan benang songket Deli,
kujahit lukisan Teungku Chik di kertas dodol Medan.
Tapi kabar perang datang dari Seulawah:
"Selamat tinggal" kau bisikkan lewat daun rumbia,
terbang ke Selat Malaka jadi layar kapal pinisi.
Di dermaga tua Kuala Langsa,
kukumpulkan remah-remah peusijuek dan kopi Gayo,
kubungkus dalam daun lontar dari Makassar.
Kubawa ke Pelabuhan Penang dengan pelawut pinisi,
dijual di kedai Tionghoa yang menjajakan kata:
"Di sini dongeng Aceh dan hikayat Hang Tuah
bersemayam dalam teko teh yang sama."
Hari ini usiamu setua meriam Kesultanan Langkat,
Selamat ulang tahun, wahai putroe di ujung Jalan Peunayong
ubanmu adalah jejak lada yang hilang ke Eropa,
kerut wajahmu peta dari Geudong sampai ke Siak.
Bukankah dentuman Bedil Senayan pun terdiam
saat kau tersenyum seperti kubah Baiturrahman
yang memantulkan bulan di Teluk Makassar?
-T. Agam Manyak
0 Komentar