![]() |
Ilustrasi |
Namun, seiring perkembangan zaman dan globalisasi yang kian masif, pandangan tersebut perlahan memudar. Kini, penggunaan bahasa Inggris tidak lagi dipandang negatif. Justru sebaliknya, kemampuan berbahasa Inggris kini menjadi simbol kompetensi, akses informasi, bahkan gaya hidup. Bahasa Inggris telah bergeser dari yang dulu distigma menjadi bagian dari tren sosial dan kebutuhan modern.
Paradigma Baru
Perubahan cara pandang masyarakat terhadap penggunaan bahasa Inggris tidak terjadi begitu saja. Ini berkaitan erat dengan masuknya teknologi, media sosial, serta meningkatnya konektivitas global. Anak muda masa kini lebih sering terpapar konten internasional, mulai dari film, lagu, hingga informasi akademik.
David Crystal, seorang ahli bahasa Inggris global, menyatakan "English has become the language of the world not because it is better, but because of the power political, technological, economic of those who use it”. Pernyataan ini menegaskan bahwa dominasi bahasa Inggris bukan sekadar karena kualitas linguistiknya, tetapi karena ia mewakili akses terhadap dunia yang lebih luas: karier internasional, teknologi, pengetahuan, dan bahkan popularitas di media sosial.
Saya sendiri menyadari pergeseran paradigma ini secara langsung ketika melihat sebuah video yang lewat di media sosial. Video itu sangat menarik dan telah ditonton ratusan ribu kali, dengan subtitle berbahasa Inggris. Ketika saya membuka kolom komentar, saya membaca sebuah komentar yang berbunyi: “Minimal berikan subtitle bahasa Indonesia.” Namun yang menarik, komentar itu dibalas oleh seseorang dengan kalimat, “Minimal belajar bahasa Inggris dekk”. Dulu, komentar seperti itu hampir pasti menuai kecaman karena dianggap arogan atau tidak menghargai bahasa nasional. Tapi kini, tanggapan tersebut justru mendapat banyak dukungan. Dari situ saya sadar bahwa paradigma memang telah berubah yang dulu menggunakan bahasa Inggris dicap sebagai "sok Inggris", sekarang justru orang yang tidak bisa bahasa Inggris sering dianggap kurang belajar, tidak update, bahkan ketinggalan zaman.
Media sosial menjadi cermin pergeseran sosial ini. Influencer dan content creator sering mencampur bahasa Indonesia dan Inggris dengan santai, dan penonton pun semakin terbiasa bahkan menirunya. Bahasa Inggris tak lagi eksklusif ia telah menjadi bagian dari tren, dari cara orang menunjukkan kompetensi dan gaya hidup.
Penutup
Pergeseran paradigma ini menunjukkan bahwa bahasa selalu berada dalam pusaran perubahan sosial. Jika dulu berbicara bahasa Inggris dianggap “sok,” kini justru menjadi simbol keterbukaan, pengetahuan, dan kesiapan menghadapi dunia global. Meski begitu, penting juga untuk menempatkan penggunaan bahasa secara kontekstual dan tetap menghargai bahasa Indonesia sebagai bagian dari identitas nasional.
Bahasa bukan hanya soal kata-kata, tapi juga tentang sikap dan cara pandang. Maka, alih-alih mengejek, mungkin sudah saatnya kita mendukung siapa pun yang sedang belajar atau menggunakan bahasa Inggris karena bisa jadi, merekalah yang sedang mempersiapkan diri untuk masa depan.
0 Komentar