![]() |
Ilustrasi |
Pancasila mengajarkan kita tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Lima sila yang seharusnya menjadi arah moral dan etika bangsa, justru semakin terpinggirkan oleh kepentingan pragmatis, ego sektoral, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ironi terbesar dalam kehidupan berbangsa hari ini adalah ketika simbol dan jargon Pancasila terus dipakai dalam pidato, tetapi dijauhkan dari pengambilan keputusan dan kebijakan publik.
Studi Kasus: Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja (2020)
Salah satu contoh nyata dari tidak dihidupinya Pancasila dalam kehidupan bernegara adalah pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada tahun 2020. Proses legislasi yang dinilai terburu-buru, minim partisipasi publik, dan sarat kepentingan ekonomi elite ini menunjukkan bahwa prinsip kerakyatan dan keadilan sosial sedang dikompromikan.
Salah satu dampak nyata dari UU Cipta Kerja adalah kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pemilik usaha. Undang-undang ini memberikan fleksibilitas besar bagi perusahaan untuk melakukan PHK, bahkan tanpa kejelasan mengenai besaran pesangon yang adil dan perlindungan terhadap masa depan pekerja. Di sisi lain, buruh kehilangan posisi tawar yang selama ini dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan sebelumnya. Ketentuan-ketentuan baru dalam UU ini justru lebih condong menguntungkan perusahaan, seperti pengurangan hak cuti, fleksibilitas jam kerja tanpa batas, hingga sistem kerja kontrak dan outsourcing yang semakin diperluas. Hal ini membuat buruh semakin rentan, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan psikologis. Pekerja diperlakukan sebagai komponen produksi semata, bukan sebagai manusia yang memiliki martabat dan hak yang harus dilindungi.
Gelombang demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai daerah, namun suara rakyat tidak cukup didengar. Pasal-pasal yang berpotensi merugikan pekerja tetap dipertahankan, sementara aspirasi masyarakat sipil dianggap sebagai gangguan, bukan sebagai bagian dari proses demokrasi. Jika Pancasila benar-benar dihidupi, maka keputusan-keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dibuat dengan mendengar suara rakyat secara aktif dan transparan. Undang-undang seharusnya mencerminkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia, bukan hanya melayani kepentingan semata.
Studi Kasus: Perubahan Syarat Usia Calon Wakil Presiden oleh MK (2023)
Bukti nyata dari terpinggirkannya nilai-nilai Pancasila adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2023 yang mengubah syarat usia minimal calon wakil presiden. Sebelumnya, usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun. Namun, MK mengabulkan permohonan uji materi yang membuka celah hukum bagi seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri, asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Perubahan ini terjadi menjelang Pemilu 2024 dan menuai kontroversi karena dinilai sarat kepentingan politik dan tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial maupun kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Lebih ironis lagi, Ketua MK saat itu adalah ipar dari Presiden yang anaknya kemudian menjadi calon wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia. Kondisi ini menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap independensi lembaga hukum dan menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi bisa dimodifikasi demi kekuasaan, bukan demi rakyat. Di sinilah kita melihat bagaimana Pancasila, yang mestinya menjadi roh dalam praktik ketatanegaraan, justru dikaburkan oleh kepentingan jangka pendek. Kerakyatan tidak dihidupi, keadilan disisihkan, dan persatuan menjadi alat mobilisasi, bukan semangat pemersatu.
Menghidupi Pancasila, Bukan Hanya Merayakannya
Pancasila bukan sekadar simbol, bukan pula sekadar ritual tahunan. Ia adalah napas dalam setiap langkah kebijakan, dalam relasi sosial, dan dalam sistem pendidikan serta hukum kita. Menghidupi Pancasila berarti menjadikan keadilan sebagai orientasi utama dalam pembangunan, menjunjung tinggi kemanusiaan dalam setiap penindakan hukum, dan memelihara persatuan dengan merawat perbedaan. Peringatan 1 Juni seharusnya menjadi titik balik, bukan rutinitas. Tidak cukup hanya dengan menggelar upacara dan memasang baliho bertuliskan “Selamat Hari Lahir Pancasila”, jika praktik-praktik ketidakadilan dan pengabaian suara rakyat terus dibiarkan hidup di bawah bayang-bayang formalitas tersebut.
Penutup
Pancasila adalah warisan besar yang tidak cukup hanya diperingati ia harus dihidupi. Saat kita menyaksikan lembaga hukum kehilangan wibawa, demokrasi dibelokkan demi dinasti, dan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, maka pertanyaan yang harus kita ajukan bersama adalah: benarkah kita masih menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, atau hanya menjadikannya ornamen upacara? Pancasila hidup bukan di pidato, tapi di keputusan-keputusan yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan bersama.
0 Komentar